Sehat Mental Selama Pandemi

Sehat Mental di Tengah Pandemi

 

                Kesehatan mental merupakan suatu hal yang tak dapat dipisahkan dari keberadaan tiap-tiap individu. Kesehatan mental sangat berpengaruh terhadap kondisi fisik seseorang. Sebab dengan kondisi mental yang baik, seseorang dapat menikmati hidup dengan baik pula. Lantas, bagaimanakah kesehatan mental dapat dianggap dalam kondisi baik? Kesehatan mental yang baik adalah suatu keadaan dimana batin seseorang berada dalam ketentraman dan ketenangan, sehingga memungkinkan bagi diri kita untuk menikmati kehidupan serta menghargai orang lain juga lingkungan sekitar.[1] Akan tetapi, untuk menghadirkan kesehatan mental dibutuhkan beberapa cara. Terutama dalam kondisi pandemi seperti saat ini.

Dalam situasi pandemi, bukan hanya kesehatan fisik saja yang harus dijaga. Kesehatan mental juga tak boleh terabaikan saat pandemi. Kondisi mental dalam keadaan yang tak menentu seperti ini sangat mudah untuk menurun. Akibatnya dapat memicu beberapa penyakit yang menyerang mental seperti stress, gangguan kecemasan, serta depresi. Umumnya depresi yang seringkali menyerang keadaan mental adalah depresi mayor serta depresi ringan berkala (distimia).

Depresi ringan berkala saat ini seolah menjadi penyakit yang telah menjadi gaya hidup manusia. Bagaimana tidak? Distimia menyerang 2 juta orang pertahun. Kondisi ini pada umumnya melebur dengan penyakit mental lain seperti depresi berat (hingga 75%), gangguan kecemasan (hingga 50%), gangguan kepribadian (hingga 40%), gangguan somatoform (hingga 45%), penyalahgunaan zat (hingga 50%).[2]

Depresi ringan berkala dapat disebabkan oleh riwayat keluarga, ketidak seimbangan bahan kimia di otak, serta peristiwa kehidupan yang memiliki potensi tekanan. Tak dapat terelakkan bahwa kondisi pandemi ini merupakan peristiwa yang cukup memberi tekanan bagi banyak orang. Bisa jadi tekanan dari aspek ekonomi. Sebab ekonomi yang perputarannya tidak stabil. Bisa jadi tekanan dari aspek keluarga. Sebab dalam kondisi pandemi yang menghimbau masyarakat untuk tetap di rumah saja, menyebabkan gejolak batin bagi anak muda. Generasi muda yang masih senang dengan bersosialisasai terhadap lingkungan sekitar mulai merasakan beratnya kehidupan. Sebab dengan berdiam diri di rumah membatasi pererakan serta kebebasan. Membatasi bukan berarti menutupi. Pembatasan ini masih bisa dilewati melalui jejaring sosial dalam gawai. Akan tetapi, komunikasi dalam gawai tidak akan sebaik komunikasi secara langsung bertatap muka. Gejolak mood depresif sepanjang waktu inilah yang menyebabkan kesedihan memicu penyakit mental bernama distimia.

Lantas, sebagai generasi muda apakah yang harus kita lakukan dalam situasi seperti ini agar tetap terjaga kesehatan mental kita?  Salah satu cara yang dapat kita lakukan adalah dengan prinsip mindfulness. Mindfulness adalah keadaan pikiran yang berfokus terhadap penganalan apa yang dirasakan diri saat ini tanpa memberikan penilaian. Mindfulness perlu dilakukan agar seseorang tak terjebak pada masa lalu maupun masa depan. Akan tetapi, penerimaan tentang kondisi sekarang. Maria celeste arias, seorang guru SD Sevilla mengatakan bahwa mindfulness dapat dilakukan dengan berbagai aktivitas mulai dari melukis, memasak, menyulam, makan, menyannyi, menari serta aktivitas lainnya. Praktik mindfulness dapat dilakukan dalam kegiatan dan hobi sehari-hari. Misalkan menari dengan mindfulness, menari dengan penuh penghayatan, mendlami setiap gerakan tarian, menikmati tarian, menemukan manfaat tarian.

Penelitian di amerikaserikat menyatakan bahwa individu yang menerapkan mindfulness memiliki fisik dan mental yang sehat, serta tidak mudah cemas. Sedangkan penelitian bluth dan banton menyatakan bahwa mindfulness dapat membantu remaja untuk mencapa kesejahteraan dan pengendalian emosi.[3] Dengan demikian mindfullnes memiliki kontribusi positif terhadap kesehatan mental remaja dalam masa pandemic.



[1] Direktorat promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat kementrian kesehatan RI,  “pengertian kesehatan mental”           https://promkes.kemkes.go.id/pengertian-kesehatan-mental; diakses tanggal 11 oktober 2020.

[2] Sansone, RA MD “dystimic disorder: forlorn and overlooked?” psychiatry, vol 6 no.5 (juni, 2009), 46-50.

[3] Indriani, “menjaga kesehatan mental saat pandemic dengan mindfulness” https://www.antaranews.com/berita/1775161/menjaga-kesehatan-mental-saat-pandemi-dengan-mindfulness; diakses tanggal 11 oktober 2020.

Komentar